Rabu, 21 Juli 2010

Masih Berhargakah Diriku?

Enam bulan kerja dari rumah, membuat saya sempat hilang percaya diri. Pandangan tetangga melihat saya sering di rumah mungkin mengira saya seorang pengangguran. Bahkan anak saya saja sering nyeletuk:” Ayah..Ochan mau ikut ayah ke Kantor?”. Beginilah saya : sehari-hari pakai celana pendek, kaos oblong, cuman sok sibuk di depan komputer wajar saja kalau saya dianggap pengangguran oleh orang-orang yang melihat aktifitas saya.

Dulu memang saya sempat kepikiran untuk menyewa kantor kecil di sudirman sana, tetapi setelah saya pikir-pikir itu tidak efektif. Disamping harus membayar sewa bulanan yang mahal, juga harus berpacu dengan kemacetan kota Jakarta, rugi waktu dan tentunya capek di jalan. Akhirnya sebuah kamar tidur saya sulap menjadi ruang kerja untuk mengendalikan bisnis saya.
Setelah enam bulan menjalaninya, mulai muncul pertanyaan di hati kecil saya:” Apakah saya tidak laku lagi, sehingga harus bekerja seperti ini? Apakah saya tidak bisa menjadi orang kantoran yang berdasi, yang mempunyai tag name digantung di dada? mempunyai jabatan yang bisa dipajang di kartu nama? tidak diremehkan ama tetangga atau kerabat yang melihat saya?
Akhirnya suatu hari, ada pengumuman di milis alumni adanya lowongan yang sangat sesuai dengan bidang saya, dan untuk membuktikan “apakah saya masih berharga?” saya iseng mengirimkan lamaran melalui email. Selang satu hari ada telepon masuk ke handphone saya, saya dipanggil untuk wawancara.
Waktu wawancara, ada beberapa kandidat yang dipanggil dan kebanyakan fresh graduate. Saya yang paling tua waktu itu. Kami disodorin form untuk mengisi data kita, seperti nama, tanggal lahir, pendidikan, Indeks Prestasi, alamat, dan yang paling susah untuk mengisinya adalah Berapa gaji yang diminta? Hampir 10 menit saya berpikir, Berapa harga saya ya? harus diisi berapa ya? apa harus saya isi sama dengan gaji saya di perusahaan terakhir saya bekerja, tentunya tidak. Saya harus isi lebih dari gaji terakhir saya. Akhirnya saya isi tiga kali lipat dari gaji terakhir saya, mengingat lowongan ini untuk perkerjaan yang remote area dan ditambang tentunya pekerjaannya lebih berat dari pekerjaan saya terakhir.
Setelah semua kandidat mengisi form, form dikumpulkan dan kita di panggil satu persatu untuk wawancara dengan HRD. Kandidat pertama keluar dari ruang wawancara sempat saya tanyain (kebetulan satu alumni) : ” Gimana mas wawancaranya?” dengan gugup dia jawab : ” diterima sih mas cuman dia nawar gaji yang saya isi.” Mungkin karena dia belum punya pengalaman kerja kali, jadi wajar kalau perusahaan belum berani bayar dengan gaji tinggi.
Setelah menunggu beberapa waktu kini giliran saya untuk menghadap HRD. HRD menerangkan mengenai Job discription yang ditawarkan: apa pekerjaannya, dimana lokasi kerjanya, dan cerita sedikit mengenai profil perusahaannya. Dia juga menanyakan ke saya apa motivasi saya melamar, apa pekerjaan saya saat ini dan lain-lain. Setelah panjang lebar mengintrogasi saya, akhirnya saya ditanya: “Kapan anda siap bekerja dengan kami?” artinya saya diterima di perusahaan tersebut, dan yang saya heran mereka tidak menawar gaji yang saya isikan, padahal menurut saya itu sangat besar karena nominalnya tiga kali lipat dari gaji terakhir dari kantor saya. Alhamdulillah saya masih mempunyai nilai, masih ada perusahaan yang mau membayar skill saya sebesar itu. Itu yang membuat saya lebih percaya diri lagi
Toh, hidup bukan hanya untuk uang. kalau saya terima tawaran dari perusahaan tersebut, enam bulan sekali saya baru bisa pulang ketemu anak istri. Bisa-bisa nanti anak saya tidak kenal siapa ayahnya. Benar kata Mas Anang YB : Meraup uang itu mengasyikkan, tapi meraup uang sambil memeluk anak, jauh lebih membahagiakan!”.


Para pengemis jalanan yang mencari uang sambil memeluk anaknya di lampu merah itu pasti bahagia sekali kali ya…??? hehehhehehee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar